Category Archives: Fiqih Wanita

10 Dalil Perintah Menutup Aurat

image

Satu demi satu petunjuk peringatan tentang kewajiban menutup Aurat telah kami sampaikan . Namun kami tidak berhenti sampai disitu saja. In shaa Allah   Penulis Getaran Qalbu akan terus mencari dan mengkaji ilmu ilmu agama agar dapat bermanfaat bagi kehidupan kita semua.

Tidak dipungkiri masih banyak wanita muslim yang belum tahu bahwa menutup aurat itu merupakan suatu kewajiban yang harus di laksanakan namun ada juga yang sudah tahu namun tidak memperdulikannya dan memberi berbagai macam alasan.

Namun bagaimanapun juga akhirnya hukuman akan tetap dihadapinya diakhirat nanti.

Oleh sebab itulah mengapa seorang wanita muslim  harus berfikir dengan jernih secara realita. Bahwa hukum-hukum Islam itu bukanlah suatu cerita kosong namun juga ancaman yang pasti terjadi.

Berikut adalah sebagian daripada dalil-dalil berkaitan haramnya mendedahkan aurat di depan ajnabi (  lelaki bukan mahramnya ).

1) “Wahai Muhammad! katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.” [Surah Al-Ahzab (33):59].

2) “Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidh) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” [HR Abu Dawud]

3) ” Dan katakan kepada perempuan-perempuan yang beriman, supaya mereka menahan sebahagian penglihatan, memelihara kehormatannya dan tiada memperlihatkan perhiasannya (tubuhnya) selain daripada yang nyata (mesti terbuka daripada bahagian badannya yang sangat perlu dalam pekerjaan sehari-hari, seperti mukanya dan tapak tangan). Dan hendaklah mereka sampaikan kudungnya ke leher (tutup kepalanya sampai ke leher dan dadanya), dan tiada memperlihatkan perhiasannya (tubuhnya), kecuali kepada suaminya, bapanya, bapa suaminya, anak-anaknya, anak-anak suaminya, saudara-saudaranya, anak-anak saudara lelaki, anak-anak saudara perempuannya, sesama perempuan Islam, hamba sahaya kepunyaannya, lelaki yang menjalankan kewajibannya tetapi tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan – umpamanya pelayan-pelayan lelaki yang sudah tua dan tiada lagi mempunyai keinginan kepada perempuan) dan kanak-kanak yang belum mempunyai pengertian kepada aurat perempuan. Dan janganlah mereka pukulkan kakinya, supaya diketahui orang perhiasannya yang tersembunyi (misalnya melangkah dengan cara yang menyebabkan betisnya terbuka atau perhiasan seperti gelang/rantai kakinya nampak). Dan taubatlah kamu semuanya kepada Allah, hai orang yang beriman, supaya kamu beruntung.[Surah an-Nur, ayat 31]

4) ” Wahai anakku Fatimah! Adapun perempuan-perempuan yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya dalam neraka adalah mereka itu di dunia tidak mahu menutup rambutnya daripada dilihat oleh lelaki yang bukan mahramnya. [Hadis riwayat Bukhari dan Muslim]

5) Asma binti Abu Bakar menemui Rasulullah dengan memakai pakaian yang tipis.
Sabda Rasulullah: Wahai Asma! Sesungguhnya seorang gadis yang telah berhaid tidak boleh baginya menzahirkan anggota badan kecuali pergelangan tangan dan wajah saja.” [Hadis riwayat Muslim dan Bukhari]

6) “Allah sentiasa merahmati para wanita yang memakai seluar panjang (di sebelah dalamnya).” [Riwayat Al-‘Uqayli, Dar Qutni dari Abu Hurairah, Musannaf Abd Razak, no 5043; Kanzul Ummal, no 41245]

7) Menurut Imam Mujahid, hadith ini berlaku di satu ketika ada seorang wanita jatuh dari kenderaannya sehingga terselak kainnya di hadapan Nabi dan para sahabat, maka dengan segera Nabi Shallallahu’Alaihi Wa Sallam memalingkan wajahnya, maka para sahabat berkata dia (wanita itu) memakai celana. Lalu sebagai respon Rasulllah Shallallahu’Alaihi Wa Sallam memuji dan menyebut hadith di atas. (Al-Bayan wa At-Ta’rif, Ibn Hamzah al-Husyani, 3/ 252, no 1831)

8) Berdasarkan dalil ini juga, bermakna Allah sentiasa melaknati wanita yang tidak bercelana panjang (di sebelah dalamnya) semasa naik kenderaan. Demikian menurut kaedah Mafhum Mukhalafah di dalam ilmu Usul Fiqh.

9) “Wahai anak Adam, telah kami turunkan buat kamu pakaian yang boleh menutup aurat-aurat kamu dan untuk perhiasan” (Al-A’raf : 26)

10) “Dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka kecuali yang zahir darinya. Dan hendaklah mereka menutup belahan leher baju mereka dengan tudung kepala mereka. (An-Nur; 31).

Demikianlah 10 dalil semoga bermanfaat bagi kita semua khususnya wanita.

getaranqalbu.wordpress.com

Dahsyatnya Siksa Tidak Menutup Aurat!!!

image

Dunia fashion yang dipengaruhi oleh tradisi kaum kafir sungguh telah mempengaruhi sedikit demi sedikit kaum hawa hingga ada diantaranya tampil telanjang bulat di media sosial facebook , YouTube , Twitter . Hanya demi popularity yang hina.

Di manakah letaknya iman mereka???…bukankah dengan mengakui Islam sebagai agamanya dengan demikian wajib bagi seorang muslim menta’ati perintah Allah Ta’ala.  Namun kini mengapa harus mentaati kaum kafir?
Islam mengajar ke arah ketamadunan bukan kearah kemunduran. Jika seorang muslim harus mengikuti cara hidup jahiliyah maka secara tidak langsung bahwa ia telah menjatuhkan martabat keislamannya.

Islam tidak melarang fashion , namun yang pasti fashion tersebut harus mengikuti ketentuan hukum syara’ .

Perintah menutup aurat merupakan ‘ wajib ‘ yang harus di laksanakan dengan penuh keikhlasan.
 

Bayangkan jika jari kita terkena api yang panasnya tak seberapa dibanding 70 kali panasnya api diakhirat…pasti kita akan merasakan kesakitan yang tak terhingga.
Bayangkan susahnya kehidupan seharian di dunia tak sebanding dengan susahnya azab diakhirat . Susahnya hidup di dunia masih dapat kita cari penyelesaiannya namun diakhirat tiada yang dapat menggantinya selain memaksa tubuh kita untuk diazab setiap saat.

Kaum wanita yang tak memakai hijab, bukan saja telah berdosa besar kepada Allah Ta’ala , tetapi telah terhapus seluruh pahala amal ibadahnya sebagaimana bunyi surat Al-Maidah ayat 5 baris terakhir yang artinya: 

“Barang siapa yang mengingkari hukum-hukum syariat Islam sesudah beriman, maka hapuslah pahala amalnya bahkan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.”

Sebagaimana kita ketahui, memakai hijab bagi kaum wanita adalah hukum syariat Islam yang digariskan oleh Allah dalam surat An-Nur ayat 59.

Jadi kaum wanita yang tak memakainya, mereka telah mengingkari hukum syariat Islam dan bagi mereka berlaku ketentuan Allah yang tak bisa ditawar lagi, yaitu hapus pahala shalat, puasa, zakat dan haji mereka.

Umpama dari peribahasa “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga ”.

Contohnya :
Segelas susu sangat segar dan nikmat bila diminum. Tetapi jika dalam susu itu ada setitis kotoran, kita tidak membuang kotoran itu dan meminum susu tersebut, tetapi kita membuang seluruh susu tersebut.

Begitulah sikap manusia jika ada barang yang kotor mencampuri barang yang bersih. Kalau manusia tidak mau meminum susu yang bercampur sedikit kotoran, begitu juga Allah tidak mau menerima amal ibadah manusia jika ada salah satu perintah-Nya diingkari.

“Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman supaya menyekat pandangan mereka (daripada memandang yang haram), dan memelihara kehormatan mereka, dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka kecuali yang zahir daripadanya, dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya Dengan tudung kepala mereka; dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka melainkan kepada suami mereka, atau bapa mereka atau bapa mertua mereka atau anak-anak mereka, atau anak-anak tiri mereka, atau saudara-saudara mereka, atau anak bagi saudara-saudara mereka yang lelaki, atau anak bagi saudara-saudara mereka yang perempuan, atau perempuan-perempuan Islam, atau hamba-hamba mereka, atau orang gaji dari orang-orang lelaki yang telah tua dan tidak berkeinginan kepada perempuan, atau kanak-kanak yang belum mengerti lagi tentang aurat perempuan, dan janganlah mereka menghentakkan kaki untuk diketahui orang akan apa yang tersembunyi dari perhiasan mereka, dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu berjaya. (Surah An Nur Ayat 31)

Rasulullah Shallallahu’Alaihi Wa Sallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yang bermaksud:

“Ada dua golongan dari ahli neraka yang belum pernah saya lihat keduanya itu:

1. Kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka pakai buat memukul orang (penguasa yang kejam).

2. Perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, yang cenderung kepada perbuatan maksiat dan mencenderungkan orang lain kepada perbuatan maksiat, rambutnya sebesar punuk unta. Mereka ini tidak akan boleh masuk syurga, serta tidak dapat akan mencium bau syurga, padahal bau syurga itu tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian. (Riwayat Muslim)

Dan yang paling mengerikan ialah Dahsyatnya siksa balasan bagi orang yang melanggar larangan Allah Ta’ala ,  antaranya balasan wanita yang membuka rambut kepalanya didepan selain suaminya, akan digantung dengan rambutnya di atas api neraka sehingga menggelegak otaknya, berterusan selama ia tidak bertaubat dan menutup auratnya. Dada yang sengaja dibuka atau ditonjolkan supaya kelihatan seksi, akan di gantung atas api neraka dengan pusat dan buah dadanya diikat dengan rantai neraka sebagai penggantungnya betis dan paha yang terselak-selak, sedia untuk dipanggang, pedihnya tidak terkira.

Sebagaimana Sabda Baginda Rasulullah Shallallahu’Alaihi Wa Sallam :
” Wahai anakku Fatimah! Adapun perempuan-perempuan yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya dalam neraka adalah mereka itu di dunia tidak mahu menutup rambutnya daripada dilihat oleh lelaki yang bukan mahramnya.” [Hadis riwayat Bukhari dan Muslim]

Jangan biarkan diri merasakan azab siksa diakhirat , Biarlah kita bersusah payah melaksanakan tanggung jawab kita sebagai hamba-Nya di dunia yang hanya sementara. Daripada di kemudian hari harus menanggung kesengsaraan diakhirat kelak.

Paksa diri untuk menerima hakikat bahwa menutup aurat adalah perintah Allah Ta’ala yang wajib dita’ati. Tinggalkan dan lupakan dunia fashion tradisi jahiliyah yang justru menjerumuskan kelembah kehinaan . Justru kembalilah kepada fashion yang mengikuti syariat Islam yang menuntun kita ke Syurga-NYA.

Berserahlah diri pada Allah Subhanahu Wata’ala atas segala ketetapan-Nya. In shaa Allah sedikit demi sedikit diri akan menyadarinya hingga timbullah keikhlasan memakai hijab dan menutup aurat dengan ikhlas karena Allah Ta’ala.

Demikianlah semoga dapat menjadi ikhtibar bagi kaum wanita yang beriman.

getaranqalbu.wordpress.com

Bolehkah seorang wanita yang sedang haid menyentuh mushhaf Al Qur’an ?

image

Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama.

Ulama yang melarang hal tersebut berdalil dengan ayat
لاَّ يَمَسَّةُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُون

Artinya : Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al Waqi’ah: 79
يَمُسُّ

maksudnya adalah menyentuh mushhaf al Qur’an.
المُطَهَّرُونَ
maksudnya adalah orang-orang yang bersuci.

Oleh karena itu tidak boleh menyentuh mushaf al Qur’an kecuali bagi orang-orang yang telah bersuci dari hadats besar atau kecil.

Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menulis surat kepada penduduk Yaman dan di dalamnya terdapat perkataan

لاَّ يَمَسُّ الْقُرْاَنَ إِلاَّ طَا هِر

Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni)

Sanad hadits ini dho’if namun memiliki sanad-sanad lain yang menguatkannya sehingga menjadi shahih li ghairihi (Irwa’ul Ghalil I/158-161, no. 122)

Ulama yang membolehkan wanita haid menyentuh mushhaf Al Qur’an memberikan penjelasan sebagai berikut

:إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيْمٌ فِي كِتَابٍ مَّكْنُو نٍ لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ تَتِريلٌ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ   

Artinya: Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia pada kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhya kecuali (hamba-hamba) yang disucikan. Diturunkan oleh Robbul ‘Alamin.” (QS. Al Waqi’ah: 77-80)

Kata ganti ﻪ (-nya pada “Tidak menyentuhnya”) kembali kepada ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻜﻨﻮﻥ (Kitab yang terpelihara).

Ibnu ‘Abbas, Jabir bin Zaid, dan Abu Nuhaik berkata, “(yaitu) kitab yang ada di langit”.

Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.” (Tafsir Ath Thobari XI/659).

Mengenai ﺍﻟﻤُﻄَﻬَّﺮُﻭﻥَ menurut pendapat beberapa ulama, di antaranya:Ibnu ‘Abbas berkata, “Adalah para malaikat.

Demikian pula pendapat Anas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak, Abu Sya’tsa’ , Jabir bin Zaid, Abu Nuhaik, As Suddi, ‘Abdurrohman bin Zaid bin Aslam, dan selain mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir (Terj.)]

Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat dan para Nabi. Para utusan (malaikat) yang menurunkan dari sisi Allah disucikan; para nabi disucikan; dan para rasul yang membawanya juga disucikan.” (Tafsir Ath Thobari XI/659)

Imam Asy Syaukani berkata dalam Nailul Author, Kitab Thoharoh, Bab Wajibnya Berwudhu Ketika Hendak Melaksanakan Sholat, Thowaf, dan Menyentuh Mushhaf: “Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba yang tidak najis, sedangkan seorang mu’min selamanya bukan orang yang najis berdasarkan hadits

الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُس

” Orang mu’min itu tidaklah najis.”(Muttafaqun ‘alaih)

Maka tidak sah membawakan arti (hamba) yang disucikan bagi orang yang tidak junub, haid, orang yang berhadats, atau membawa barang najis.

Akan tetapi, wajib untuk membawanya kepada arti: Orang yang tidak musyrik sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala yang artinya,

“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At Taubah: 28)

Di samping itu lafadz yang digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk
isim maf’ul-nya (orang-orang yang disucikan), bukan dalam bentuk isim fa’il(orang-orang yang bersuci).

Tentu hal tersebut mengandung makna yang sangat berbeda.

Mengenai hadits “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci”,
Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullahberkata , “Yang paling dekat -Wallahu a’lam- maksud “orang yang suci” dalam hadits ini adalah orang mu’min baik dalam keadaan berhadats besar, kecil, wanita haid, atau yang di atas badannya terdapat benda najis karena sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam: “Orang mu’min tidakah najis” dan hadits di atas disepakati keshahihannya.

Yang dimaksudkan dalam hadits ini (yaitu hadits Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci) bahwasanya beliau melarang memberikan kuasa kepada orang musyrik untuk menyentuhnya, sebagaimana dalam hadits

نَهَى أَنْ يُسَا فَرَ بِا لْقُرْانِ إِلَى أَرْضِ اْلعَدُو

Beliau melarang perjalanan dengan membawa Al Qur’an menuju tanah musuh.” (Hadits riwayat Bukhori).

(Dinukil dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid dari Tamamul Minnah, hal. 107).

Meski demikian, bagi seseorang yang berhadats kecil sedang ia ingin memegang mushaf untuk membacanya maka lebih baik dia berwudhu terlebih dahulu.

Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqash berkata, “Aku sedang memegang mushhaf di hadapan Sa’ad bin Abi Waqash kemudian aku menggaruk-garuk.

Maka Sa’ad berkata, ‘Apakah engkau telah menyentuh kemaluanmu?’ Aku jawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Berdiri dan berwudhulah!’ Maka aku pun berdiri dan berwudhu kemudian aku kembali.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa’ dengan sanad yang shahih)

Ishaq bin Marwazi berkata, “Aku berkata (kepada Imam Ahmad bin Hanbal), ‘Apakah seseorang boleh membaca tanpa berwudhu terlebih dahulu?’
Beliau menjawab, ‘Ya, akan tetapi hendaknya dia tidak membaca pada mushhaf sebelum berwudhu”.
Ishaq bin Rahawaih berkata, “Benar yang beliau katakan, karena terdapat hadits yang dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci’ dan demikian pula yang diperbuat oleh para shahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” (Dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid, dari Irwaul GholilI/161 dari Masa’il Imam Ahmad hal. 5)

Abu Muhammad bin Hazm dalam Al Muhalla I/77 berkata, “Menyentuh mushhaf dan berdzikir kepada Allah merupakan ibadah yang diperbolehkan untuk dilakukan dan pelakunya diberi pahala. Maka barangsiapa yang melarang dari hal tersebut, maka ia harus mendatangkan dalil.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/188).

Kesimpulan: Wanita yang sedang haid diperbolehkan menyentuh mushhaf Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Wallaahu Ta’ala A’lam.

Rujukan:
Larangan-larangan Seputar Wanita Haid, artikel Majalah As Sunnah 01/ IV/ 1420-1999, Abu Sholihah Muslim al Atsari.
Jami’ Ahkamin Nisa’, Syaikh Musthofa al ‘Adawi.Tafsir Al Qur’an Al ‘Adziim (Terj.Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8), Ibnu Katsir.

Menurut penulis getaranqalbu.wordpress.com 
Untuk menjaga kesucian Al-Quran lebih baik seorang wanita yang sedang haid tidak menyentuhnya. Seorang wanita  Masih bisa melaksakan Ibadah lain seperti Dzikrullaah . Hal itu lebih baik. Wallahu a’lam.

getaranqalbu.wordpress.com

Bolehkah seorang wanita yang sedang haid membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) ?

image

Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita yang haid dilarang untuk membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) dengan dalil:

:لاَ تَقرَأِ الْحَا ءضُ َوَلاََ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْانِ“

Orang junub dan wanita haid tidak boleh membaca sedikitpun dari Al Qur’an.”(Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar)

Al Baihaqi berkata, “Pada hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail al Bukhari menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata, ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Isma’il bin Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Isma’il adalah munkar haditsnya (apabila) gurunya berasal dari Hijaz dan ‘Iraq’.”

Al ‘Uqaili berkata, “Abdullah bin Ahmad berkata, ‘Ayahku (Imam Ahmad) berkata, ‘Ini hadits bathil. Aku mengingkari hadits ini karena adanya Ismail bin ‘Ayyasi’ yaitu kesalahannya disebabkan oleh Isma’il bin ‘Ayyasi’.”

Syaikh Al Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari penduduk Hijaz maka hadits ini dhoif.” (Diringkas dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid dari Irwa’ul Gholil I/206-210)

Kesimpulan dari komentar para imam ahli hadits mengenai hadits di atas adalah sanad hadits tersebut lemah sehingga tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk melarang wanita haid membaca Al Qur’an.

Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shofa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thowaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)

Seorang yang melakukan haji diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an. Maka, kedua hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haid karena yang terlarang dilakukan oleh wanita tersebut -berdasar hadits di atas- hanyalah thowaf di Baitullah. (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/183)

Kesimpulan:Wanita yang sedang haid diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang melarang hal tersebut.

Wallahu Ta’ala a’lam.

getaranqalbu.wordpress.com

Bolehkah Wanita Yang Sedang Haids Iktikaf Di Masjid?

image

Walaupun kedengarannya sangat remeh , namun sudah menjadi kewajiban semua muslimah untuk memberi perhatian tentang hal-hal tersebut.

Sebagian ulama melarang seorang wanita masuk dan duduk di dalam masjid dengan dalil:
لاَأُحِلُّ الْمَسْجِدُ ِلحَائِضٍُ وَلا َجُنُبٍ

” Aku tidak menghalalkan masjid untuk wanita yang haidh dan orang yang junub.”[ Diriwayatkan oleh Abu Daud no.232, al Baihaqi II/442-443, dan lain-lain]

Akan tetapi hadits di atas merupakan hadits dho’if (lemah) meski memiliki beberapa syawahid (penguat) namun sanad-sanadnya lemah sehingga tidak bisa menguatkannya dan tidak dapat dijadikan hujjah.

Syaikh Albani –rahimahullaah– telah menjelaskan hal tersebut dalam ‘Dho’if Sunan Abi Daud’ no. 32 serta membantah ulama yang menshahihkan hadits tersebut seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu al Qohthon, dan Asy Syaukani.

Beliau juga menyebutkan ke-dho’if-an hadits ini dalam Irwa’ul Gholil’I/201-212 no. 193.

Berikut ini sebagian dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan seorang wanita haid duduk di masjid (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/191-192):

Adanya seorang wanita hitam yang tinggal di dalam masjid pada zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Namun tidak ada dalil yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkannya untuk meninggalkan masjid ketika ia mengalami haidh.

Sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada‘Aisyah radhiyallahu’anha, “Lakukanlah apa yang bisa dilakukan oleh orang yang berhaji selain thowaf di Baitullah.” 

Larangan thowaf ini dikarenakan thowaf di Baitullah termasuk sholat, maka wanita itu hanya dilarang untuk thowaf dan tidak dilarang masuk ke dalam masjid.

Apabila orang yang berhaji diperbolehkan masuk masjid, maka hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haidh.

Kesimpulan:
Wanita yang sedang haid diperbolehkan masuk dan duduk di dalam masjid karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut.

Namun, hendaknya wanita tersebut menjaga diri dengan baik sehingga darahnya tidak mengotori masjid.

Diantara contoh cara penjagaan diri ialah :
– Mencuci kemaluannya , mengelapnya dengan kering kemudian menggunakan pad baru dan terjamin kualitas ketebalannya  atau menggunakan kain  bersih yang dilipat sebagai alas pelapik.

– Memakai celana dalam dan baju yang bersih tidak dalam keadaan lembab karena keringat, dikhawatirkan akan menembusi.

– Mencuci anggota tubuhnya lebih baik menggunakan kaedah seperti berwudhu.

Walau cara tersebut tiada dalilnya namun kaedah tersebut sangat baik untuk menjaga kebersihan diri sewaktu hendak memasuki masjid demi menjaga kesucian masjid.

Demikianlah dan hendaklah ilmu fiqih wanita ini kita sebarkan pada wanita-wanita lain yang mungkin belum mengetahui akan hal fiqih wanita. Dan juga hendaklah kita ajakan pada anak-anak kita. Sehingga tradisi Islam terus terjaga .

getaranqalbu.wordpress.com

Fiqih Wanita : Pengertian Haid Dan Contoh Perhitungannya

image

Meskipun haid / menstruasi terjadi pada setiap wanita namun masih ada wanita yang tidak mengetahui ilmu akan haid tersebut.

Islam merupakan agama yang sempurna , mempunyai ilmuyang cukup luas membahas mengenai hal-hal terkecil , yang terbesar hingga sesuatu yang tak terlihat dari mata manusia. Namun sadar atau tidak itulah tanda kebesaran Allah Subhanahu Wata’ala yang memberikan ilmu-ilmu-Nya untuk manusia. Agar kita menjadi hamba-Nya yang dapat menjalani hidup sesuai dengan tuntunan syari’atnya.

Karena itu sudah menjadi tugas kita untuk mempelajarinya.  Apalagi seorang wanita yang mempunyai urusan yang sangat complex termasuk urusan penjagaan dan perawatan diri sangat penting untuk wanita perhatikan.

Wanita merupakan makhluk ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala yang terindah , sensitive namun juga lebih lemah daripada fisik seorang lelaki. Allah Subhanahu Wata’ala menitipkan rahim kedalam perut seorang wanita agar dapat melahirkan generasi hamba-hamba-Nya.

Begitu istimewanya seorang wanita hingga diberikan tugas untuk membantu suami menguruskan rumah tangga dan  mendidik serta merawat anak-anaknya.
Karena melalui tangan seorang wanitalah semua itu dapat teratasi dengan sebaik-baiknya.

Allah Subhanahu Wata’ala Maha Bijaksana , Maha Pengasih lagi Maha Adil.
Allah Subhanahu Wata’ala memahami keadaan wanita yang selalu keletihan karena melaksanakan tugas-tugas beratnya. Oleh karena itulah salah satu sebab mengapa Allah Subhanahu Wata’ala memberikan masa berehat bagi wanita melalui masa-masa haid.

Ketika Haid wanita tidak dibenarkan untuk melaksanakan shalat lima waktu , berpuasa dan mengaji. Tanpa harus menggantinya kecuali ketika meninggalkan puasa Ramadhan ketika haid.

Setiap darah yang menitis Allah Subhanahu Wata’ala mengampuni dosa-dosa kecilnya. Allahuakhbar …Sungguh Allah Maha pengasih.

Oleh karena itulah mengapa seorang wanita harus mengetahui ilmu tentangnya.
Berikut ini merupakan ilmu fiqih wanita. Yaitu tentang haid.

A. Pengertian Haid

Haid atau yang di sebut dengan menstruasi secara bahasa berarti mengalir, sedangkan menurut arti syara’ haidl adalah darah yang keluar dari rahim wanita melalui alat kelamin wanita yang sudah mencapai usia 9 tahun kurang 16 hari kurang sedikit (Tahun Hijriyyah) penghitungan 9 tahun dengan tanggalan/tahun hijriyyah bukan masehi, sebab selisihnya akan sangat banyak sekali.

1 Tahun Hijriyyah = 354 hari 8 jam 48 menit ( kurang lebih )

1 Tahun Masehi = 365 Hari 6 jam tinggal dikalikan selisihnya dalam kurun 9 tahun.

Dan keluar Secara alami bukan disebabkan melahirkan atau suatu penyakit.

Dengan demikian darah yang keluar ketika wanita belum berumur 9 tahun kurang 16 hari kurang sedikit atau disebabkan penyakit ataupun disebabkan melahirkan, tidak dinamakan darah haidl

B. Dalil Haid

Haidl adalah kodrat wanita yang tidak bisa dihindari dan sangat erat kaitannya dengan ibadahnya sehari hari. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 222:

“mereka bertanya kepadamu tentang haidl katakan haidl adalah suatu kotoran, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.

Dan hadits nabi :

“ini (haidl) merupakan sesuatu yang telah ditaqdirkan Allah kepada cucu-cucu wanita Adam (HR Bukhari dan muslim)

Hukum belajar ilmu haid

– Fardlu ‘ain( wajib) atas wanita yang sudah baligh

– Fardlu kifayah atas orang laki-laki

Tanda-Tanda Baligh:

Seorang anak dihukumi baligh apabila sudah memenuhi salah satu dari 4 tanda di bawah ini

1. Genap berumur 15 tahun Hijriah bagi laki-laki atau perempuan.

2.Keluar sperma pada usia minimal 9 tahun Hijriah, bagi laki-laki atau perempuan.

3.Haidl.

4.Hamil/melahirkan..Batas Usia Wanita Haid minimal usia wanita mengeluarkan darah disebut darah haidl adalah 9 tahun qomariyah kurang 16 hari kurang sedikit, yaitu kurangnya waktu yang cukup untuk minimal suci dan minimal haidl.

Sehingga jika ia mengeluarkan darah kurang dari usia tersebut, maka darah yang keluar tidak disebut darah haidl namun disebut darah istihadloh (penyakit).

Bila darah yang keluar sebagian pada usia haidl dan sebagian pada sebelum usia haidl, maka darah yang dihukumi haidl hanyalah darah yang keluar pada usia haidl.

Contoh:

Wanita usianya 9 tahun kurang 20 hari, mengeluarkan darah selama 10 hari, maka darah yang 4 hari pertama lebih sedikit dihukumi istihadloh, sedangkan yang 6 hari kurang sedikit dihukumi darah haidl.

Ketentuan darah haid

Darah yang keluar dihukumi darah haidl apabila memenuhi 4 syarat:

Keluar dari wanita yang usianya minimal 9 tahun kurang 16 hari kurang sedikit.

Darah yang keluar minimal sehari semalam jika keluar terus menerus,

atau berjumlah 24 jam jika keluar terputus putus dan masih pada waktu 15 hari dari keluarnya darah yang pertama.

Tidak lebih 15 hari 15 malam jika keluar terus menerus.

Keluar setelah masa minimal suci, yakni 15 hari 15 malam dari haidl sebelumnya.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa:

Minimal keluarnya haidl adalah sehari semalam.

Maksimal keluarnya haidl adalah 15 hari 15 malam.

Pada umumnya wanita setiap bulan mengeluarkan darah 6 atau 7 hari. Paling sedikit jarak waktu yang memisah antara satu haidl dengan haidl sebelumnya adalah 15 hari 15 malam.

Maka semuanya dihukumi haidl termasuk masa berhenti di antara dua darah tersebut.

Jika masa pemisah kurang dari 15 hari, maka perinciannya sebagai berikut:

A. Bila darah pertama dan kedua masih dalam rangkaian 15 hari terhitung dari permulaan keluarnya darah pertama maka semuanya dihukumi haidl termasuk masa berhenti di antara dua darah tersebut.

Contoh 1:

Keluar darah selama 3 hari.
Berhenti selama 3 hari.
Keluar lagi selama 5 hari.

Contoh 2:

Keluar darah selama 2 hari.
Berhenti selama 10 hari.
Keluar lagi selama 3 hari.

Dari kedua contoh di atas, keseluruhan hari, termasuk waktu tidak keluar darah dihukumi haidl, sebab semuanya masih dalam masa maksimal haidl (15 hari).

B. Bila darah kedua sudah di luar rangkaian masa 15 hari dari permulaan haidl pertama (jumlah masa pemisah ditambah dengan darah pertama tidak kurang dari 15 hari),

Sementara jumlah masa pemisah ditambah darah kedua tidak lebih 15 hari, maka darah kedua dihukumi darah fasad (kotor).

Contoh 1:

Keluar darah pertama selama 3 hari. Berhenti selama 12 hari.
Keluar darah kedua selama 3 hari.

Maka 3 hari pertama dihukumi haidl,12 hari tidak keluar darah dihukumi suci,
dan 3 hari akhir dihukumi darah fasad (kotor).

Contoh 2:

Keluar darah pertama selama 6 hari. Berhenti selama 9 hari.
Keluar darah kedua selama 2 hari.
Maka 6 hari pertama dihukumi haidl, berhenti 9 hari dihukumi suci dan 2 hari dihukumi darah kotor.

C. Bila masa suci pemisah ditambah darah kedua melebihi 15 hari, maka sebagian darah kedua dihukumi darah fasad (untuk menyempurnakan masa minimal suci pemisah).

Dan sisanya dihukumi haidl yang kedua, bila memenuhi ketentuan haidl.

Contoh:
Keluar darah pertama 5 hari.
Berhenti selama 10 hari.
Keluar darah kedua 10 hari.
Maka 5 hari awal dihukumi haidl,
10 hari ditambah 5 hari (sebagai darah kotor) dihukumi masa suci,
Dan 5 hari akhir dihukumi haidl yang kedua.

Ketentuan hukum ini apabila masa keluar darah kedua, setelah dikurangi untuk menyempurnakan masa minimal suci, sisanya tidak lebih dari maksimal haidl (15 hari).

Dan jika melebihi masa 15 hari, maka perempuan tersebut dihukumi mustahadloh yang hukumnya disesuaikan dengan pembagian mustahadloh yang akan datang.

Contoh:

Keluar darah pertama 10 hari.
Berhenti selama 10 hari.
Keluar darah kedua selama 25 hari.
Maka, 10 yang pertama dihukumi haidl
10 hari saat tidak keluar darah ditambah 5 hari saat keluar darah yang kedua (sebagai penyempurna 15 hari minimal suci yang memisahkan antara dua haidl), dihukumi masa suci.

Sedangkan satu hari setelah itu dihukumi haidl yang kedua, dan sisanya dihukumi darah istihadloh.

Hal ini jika ia adalah seorang wanita yang pertama kali mengeluarkan haidl dan darah yang dikeluarkan tidak bisa dibedakan antara yang kuat dan yang lemah (mustahadloh mubtadiah ghoiru mumayyizah).

Dan jika ia sudah pernah mengalami haidl (mu’tadah ghoiru mumayyizah), maka haidl dan sucinya disesuaikan kebiasaannya.

Misalnya biasannya 5 hari, maka 10 hari awal dihukumi haidl, 10 hari masa tidak keluar darah ditambah 5 hari saat keluar darah yang kedua dihukumi masa suci.

Sedangkan 5 hari setelah itu dihukumi haidl yang kedua, mengikuti kebiasaannya.
Dan sisanya dihukumi darah istihadloh.

Mengetahui perhitungan haid ini sangat penting bagi seorang wanita , terutama wanita muslim . Alangkah baiknya jika menyediakan nota khusus untuk mencatat tanggal datangnya haid pertama dan berhentinya haid. ( Yaitu normal 7 hari dan maksimal 15 hari ) lebih dari itu wanita diharuskan mandi besar dan melaksanakan sholat lima waktu seperti biasanya. Hal ini Untuk menghindari tertinggal waktu sholat.

Demikianlah semoga wanita tidak memandang remeh dan memberi perhatian sepenuhnya urusan haid ini. Karena segalanya ada cara dan hukumnya…Semoga dengan begitu wanita bisa lebih tahu bagaimana mengurus dirinya. Dan yang paling penting ialah dapat menyelamatkan dirinya dari siksa api neraka akibat mengabaikan hukum Allah Ta’ala.

getaranqalbu.wordpress.com